Photobucket

12 Mei 2009

DEMOKRAT SEBAGAI JAWARA PEMILU 2009

Hampir semua lembaga survei yang merilis quick count hasil Pemilu 2009 meletakkan partai demokrat sebagai pemenang. Perolehan suara partai itu sekitar 20 persen. Jika hasil quick count tersebut kelak kurang lebih sama dengan hasil akhir perhitungan KPU, itu jelas mengejutkan. Pertama, sebelumnya tidak ada satu pun yang menduga (termasuk pengamat politik) Demokrat bakal menjadi pemenang Pemilu. Kebanyakan pengamat atau lembaga survei hanya memprediksi kenaikan suara democrat. Bahwa akhirnya demokrat menjadi pemenang Pemilu, (sekali lagi) itu cukup mengejutkan.
Kedua, dalam konteks sebagai partai penguasa, hasil yang diperoleh Demokrat pada pemilu kali ini cukup menarik untuk dianalisis. Sempat muncul tesis, selama pemilu pasca reformasi, perolehan suara partai penguasa cenderung menurun dibandingkan pemilu sebelumnya. Contohnya, adalah PDIP pada Pemilu 2004, PDIP merupakan partai penguasa karena yang menjadi Presiden adalah Megawati Soekarno Putri, ketua umum partai itu. Hasilnya, perolehan suara PDIP pada Pemilu 2004 menurun dibanding pemilu sebelumnya (1999).


Pada Pemilu 1999, PDIP menjadi pemenang dengan memperoleh sekitar 33,74 persen suara dan mendapatkan 153 kursi di DPR. Pada Pemilu 2004, suara PDIP menurun dan harus puas berada di peringkat kedua setelah Golkar, dengan memperoleh 18,53 persen suara dan mendapatkan 109 kursi. Apa yang dialami PDIP itu tak berlaku bagi Demokrat. Pada Pemilu 2009, Demokrat adalah partai penguasa karena yang menjadi Presiden adalah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), ketua Dewan Pembina partai tersebut.
Namun, dari quick count semua lembaga survei, perolehan suara Demokrat pada Pemilu 2009 naik drastis dibanding perolehan suaranya pada Pemilu 2004. Pada Pemilu 2004, Demokrat hanya memperoleh 7,45 persen suara.

KOMBINASI SBY DAN MEDIA
Lantas, apa yang membuat perolehan suara Demokrat melejit? Menurut saya, karena kombinasi antara faktor SBY dan media massa. Melalui media massa, baik lewat berita maupun iklan, sosok SBY berhasil dicitrakan sebagai pemimpin yang simpatik dan berprestasi lewat proses impression management (pengelolaan kesan). Tentang impression management ini, Doris A. Graber dalam Mass Media and American Politics menceritakan sepak terjang Jimmy Carter, Presiden ke-39 Amerika Serikat. Menurut Graber, pada 1974, ketika kali pertama mencalonkan diri menjadi Presiden, Carter adalah sosok yang tidak begitu dikenal masyarakat Amerika. Tapi, dua tahun kemudian, Carter menjadi begitu populer setelah televisi mengantarkan kehadiran figure kandidat presiden itu pada masyarakat pemilih.
Media berhasil melakukan ‘rekayasa’ informasi melalui proses impression management dan mensosialisasikan-nya kepada publik untuk membangun opini baru yang menguntungkan Carter, lantas mengantarkannya menjadi Presiden AS.
Kasus Carter merupakan salah satu di antara sekian contoh yang menggambarkan besarnya efek media massa terhadap perilaku politik masyarakat. Apa yang dialami Carter agak-agak mirip dengan fenomena yang saat ini sedang terjadi pada Pemilu 2009.
Setidaknya, ada dua partai yang masuk dalam kategori melejit (masih menurut hasil quick count) yang diyakini merupakan hasil impression management di media massa. Pertama Demokrat dan kedua Gerindra. Partai yang memasang ikon Prabowo Subianto itu berhasil menyodok masuk kesembilan besar partai yang lolos ke Senayan dengan perolehan suara sekitar 4 persen.
Slogan kampanye Prabowo di media massa yang berpihak pada rakyat jelata cukup efektif digunakan sebagai instrumen membangun sosoknya yang positif. Melejitnya suara Partai Demokrat pada Pemilu 2009 diaykini merupakan efek dari media massa, yang sengaja atau tidak, telah membangun sosok SBY yang positif. Yakni, pemimpin yang good loocking, santun, runtut dalam berkomunikasi, tidak emosional, dan berhati-hati dalam mengambil keputusan.
Citra SBY yang positif itu nyaris tak terpengaruh oleh serangan gencar para elite PDIP selama kampanye berlangsung. Dan itu bukan yang pertama. Menjelang pemilu 2004, SBY pernah diserang oleh pernyataan Taufiq Kiemas (suami Megawati Soekarno Putri). Saat itu, SBY disebut sebagai jenderal kenakak-kanakan. Tapi, serangan tersebut saat itu malah melambungkan nama SBY.
Kali ini, menjelang Pemilu 2009, Megawati kembali gencar menyerang SBY. Pada Rakernas PDIP di Solo, Mega menyatakan pemerintah sekarang kerap membuat rakyat seperti permainan yoyo. Sebentar ditarik ke atas, sebentar ke bawah. Dengan kata lain, Mega menuding pemerintah di bawah SBY memainkan nasib rakyat dengan membuat kebijakan yang naik-turun. Soal BLT (Bantuan Langsung Tunai), Megawati pada banyak kesempatan kampanye juga mengkritik keras. BLT dianggap sebagai kebijakan yang mempermainkan nasib rakayat. Itu berarti komunikasi politik SBY dalam posisi bertahan dan menangkis serangan jauh lebih mengena ke masyarakat ketimbang komunikasi politik Megawati yang dalam posisi menyerang. Ketika SBY diserang, masyarakat ternyata cenderung lebih bersimpati kepada dia.
Lantas, apakah kemenangan Demokrat pada Pemilu 2009 akan berbanding lurus dengan kemenangan SBY pada pemilihan presiden 8 Juli mendatang? Jawabannya bisa saja iya, bisa saja tidak. Perkembangan terakhir, baik SBY maupun para elite di Partai Demokrat terkesan semakin percaya diri dalam menghadapi pilpres. SBY pun mulai mematok syarat-syarat bagi partai yang ingin berkoalisi dengan Demokrat. Kita tunggu saja nanti. (Penulis : Kurniawan Muhammad)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Give Me Your Comment, No SPAM No JUNK: