Photobucket

12 Mei 2009

KARTINI MENDEBAT PARA SAHABAT

Islam mengajarkan, seorang ibu harus pintar karena ibulah yang mendidik anak-anak, membangun generasi. Karena itulah, perempuan dalam Islam diperbolehkan, bahkan dianjurkan bersekolah. Banyak warga Indonesia keturunan Arab di Indonesia yang putrinya bersekolah hingga S-1 dan S-2 meski kelak hanya menjadi ibu rumah tangga (di antara mereka teman-teman saya sendiri). Bagi kalangan keluarga Arab itu, menjadi ibu rumah tangga bukan pekerjaan main-main. Engkau harus pintar.
Mungkin, prinsip itulah yang juga mendasari gerakan pendidikan perempuan yang dicetuskan Kartini dipengujung abad ke-19 memasuki abad ke-20. Ketika Kartini berjuang mengadakan pendidikan bagi kaum perempuan, cita-citanya tentu bukan untuk mencapai kesetaraan di segala bidang dengan laki-laki, atau menjadi wanita karir yang sukses. Tujuan Kartini jelas seperti suratnya kepada Tuan dan Nyonya Anton, 4 Oktober 1902.


‘Pekerjaan memajukan peradaban manusia haruslah diserahkan kepada perempuan. Dengan demikian, maka peradaban itu akan meluas dengan cepat dalam kalangan bangsa Jawa. Ciptakan ibu-ibu yang cakap serta berpikiran, maka tanah Jawa pasti akan mendapat pekerja yang cakap. Peradaban dan kepandaiannya akan diturunkannya kepada anak-anaknya. Anak-anak perempuannya akan menjadi ibu pula, sedangkan anak laki-laki akan menjadi kepentingan bangsanya.’
Sebagai seorang putri Jawa yang dibesarkan di lingkungan feudal, dia melihat betapa penting bekal pengetahuan perempuan bagi kehidupan yang lebih luas. Membangun sebuah generasi bangsa memang harus dimulai dari lingkup terkecil: rumah, lingkungan tempat tinggal, masyarakat terdekat. Bukankah saat ini kita telah melihat banyak ironi di sekitar kita? Istri berkarir, suami kehilangan pekerjaan. Ibu mengajar di sekolah A, anak dikirim ke sekolah B. Ibu mendidik anak orang lain, anak sendiri diasuh pembantu. Ibu makan siang dengan relasi, anak menonton televisi sesuka hati. What’s the point? Mengenang Kartini saat ini, kita patut mengajukan pertanyaan kritis itu kepada diri kita sendiri: ‘What’s the point of us getting high education? What for?’ Sejak SD kita belajar tentang Ibu Kita Kartini sebagai pejuang kaumnya. Habis Gelap Terbitlah Terang kita maknai sebagai ‘ habis kebodohan terbitlah pencerahan’. Kartini percaya bahwa ‘Hidup itu indah bila dalam kegelapan kita melihat cahaya terang.
Dalam persepsi saya, ‘cahaya terang’ itu bukan persahabatannya dengan orang-orang Eropa, atau ilmu yang didapatkannya, melainkan perkawinannya dan perkenalannya dengan Islam. Memang tak sedikit tulisan yang mengusik perkawinan Kartini dengan pemikiran-pemikiran antipoligami. Kartini dianggap mulai melemah dan akan membunuh perjuangannya sendiri. Bila kita simak surat-suratnya, Kartini tampak sibuk dan gencar membantah atau menolak ‘sebuah ajakan/ajaran’ yang berlawanan dengan kemauannya.
Memang benar bahwa gairah belajar Kartini menurun ketika guru agamanya mengecam bahkan melarang perempuan menggunakan otaknya dalam memahami Al Quran. Namun, skeptisismenya terhadap Islam itu terjadi pada saat ia remaja. Dan semua anak remaja pasti mengalami masa ‘pemberontakan’ terhadap segala sesuatu. Untuk Kartini, pemberontakan itu bukan hanya kepada otokrasi para ulama, tetapi juga kepada feodalisme, perkawinan poligami ayahnya, penjajahan Belanda, dan lain-lain. Menjadi kurang adil bila surat-surat Kartini yang dianggap sebagai ‘jalan pikiran Kartini’ itu diseleksi dari surat-suratnya di masa dia remaja dan penuh pergolakan jiwa.
Ada kebenaran lain yang tersembunyi, yaitu kebenaran yang muncul ketika Kartini beranjak dewasa. Ketika semakin memahami Al Quran, Kartini kemudian mendorong penerjemahan dan penyeberluasannya. Keputusannya menikahi Bupati yang telah beristri juga bukan keputusan membabi-buta atau karena dipaksa. Kartini memiliki waktu yang cukup untuk mengenali calon suami dan mempertimbangkan keputusannya. Selain mengagumi dan mencintai calon suaminya, Kartini menikah juga dilandasi cita-cita besarnya: agar memiliki resources lebih besar untuk mendidik anak-anak perempuan dan menyebarluaskan Islam.
Salah satu cuplikan suratnya tentang suaminya cukup menggambarkan bagaimana sosok sang suami: ‘Saya merasa mendapat hak istimewa di atas ribuan orang untuk mengarungi hidup di samping seorang pria yang demikian luhur’. Di surat lain, Kartini menyebut calon suaminya sebagai ‘permata’ yang ditemukannya. Surat-surat bernada seperti itu banyak dilayangkan kepada para sahabatnya, seolah-olah Kartini berjuang meluruskan opini para sahabat yang keliru memahami.
Ada surat lain yagn seolah menjelaskan pilihan hidupnya: ‘Ibu tahu, saya merencanakan pergi ke Betawi untuk belajar guna mencapai ijazah sebagai guru bantu di sana. Tetapi, jalan saya tidak akan menuju ke Barat, jalan saya menuju ke Timur, di samping seorang laki-laki terpelajar yang menaruh perhatian pada peradaban Barat. Saya menuju ke perwujudan cita-cita bangsa kami secara langsung dan melalui jalan terpendek’.
Surat-surat semacam itu bisa jadi merupakan jawaban Kartini atas ‘ajakan entah apa’. Kartini secara tegas memutuskan untuk menikah, bukannya terus bersekolah (atas beasiswa yang diusahakan teman-teman Belandanya). Bila perwujudan impiannya bisa diperoleh melalui jalan pernikahan atau jalan mendapat beasiswa ke Betawi, dia ternyata memilih jalan pernikahan. Surat-suratnya menyiratkan betapa besar perjuangan Kartini justru untuk berargumentasi dengan para sahabat korespondennya.
Itulah salah satu argumen kerasnya dalam masalah perkawinannya: ‘Pengaruh istri Bupati akan lebih besar daripada pengaruh anak perempuan Bupati. Insya Allah, saya tak hanya dapat mendidik anak-anak, tetapi juga berpengaruh kepada ibu-ibu mereka’.

Lebih Cerdas
Sebagai bangsa penerus cita-cita Kartini, kita mesti lebih cerdas dalam membaca surat-surat Kartini. Surat Kartini kepada Ny. Van Kohl, 21 Juli 1902, secara halus menolak ‘ajakan’ untuk mengikuti kepercayaan si penulis surat: ‘Yakinlah Nyonya bahwa kami akan selalu memeluk agama kami sekarang’. Kepada Ny. Abendanon Mandri, 12 Oktober 1902, Kartini juga menulis: ‘Kami ingin mengabdi kepada Tuhan dan bukan kepada orang’.
Sayang surat ‘para sahabat’ yang menimbulkan jawaban-jawaban tegas Kartini itu tak pernah ditampilkan; dan ini tentu politik pembentukan opini publik. Surat-surat yang diterbitkannya hanya surat-surat Kartini, bukan surat sahabatnya, dan telah diseleksi sesuai agenda setting bangsa Belanda pada waktu itu (antara lain kristenisasi, dan lain-lain). Bila kita membaca surat-surat Kartini, bahkan yang telah diseleksi dengan ketat sekalipun, tersirat betapa para sahabatnya gencar mempengaruhinya untuk meninggalkan Islam, dan mencegahnya menikahi Bupati Rembang. Salah satu ‘iming-iming’-nya adalah beasiswa bersekolah di Betawi. Kartini memilih menikah.
Bagaimanapun, Kartini memang teladan kita. Dia mengajari bangsa ini tentang pentingnya pendidikan bagi kaum perempuan, dan mengajari kita bagaimana tetap teguh memegang prinsip di tengah derasnya politik strategis penjajah Belanda agar orang-orang cerdas seperti Kartini meninggalkan jati diri Indonesianya. Kartini ternyata memiliki perjuangan lain yang tersembunyi, yang tak kalah beratnya. Kita patut menghormatinya (Penulis : Sirikit Syah).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Give Me Your Comment, No SPAM No JUNK: