Photobucket

11 Mei 2009

MELIHAT DENGAN HATI

BAHWA menyimak pembica¬raan seseorang adalah hadiah yang paling langka dan paling berharga. Pemberitaan rentan menimbulkan kekesalan apabila diposting berulang-ulang dan isinya lebih sebagai' analisa pribadi dari seseorang yang sedang dalam hidup makan hati. (Makan hati = kegeraman yang sudah dipenuhi rasa kesal, ditumbuk sampai membatin, diambil sarinya dan diaduk dalam kegemasan yang memuncak mohon ijin meminjam kata-kata iklan Teh Botol).
Pada masyarakat yang belum mencapai jumlah 30 % dari total penduduk pada satu Negara berpikir dan bertindak dengan cara-cara S 1, meskipun mung¬kin saja lebih dari jumlah itu yang mengantongi ijazah S 1¬penyebaran informasi melalui media masa dituntut kehati¬hatian dan harus bertanggung jawab. Dalam era keranjingan informasi yang tak disertai kematangan nilai dan norma, semua orang belajar dan berproses menuju titik ekuilib¬rium antara penyebaran infor¬masi yang bertanggungjawab dan tak bertanggungjawab.


Memungut sampah hanyalah satu dari pasokan yang tak ada habisnya untuk ritual menolong. Anda bisa membantu membu¬kakan pintu bagi orang lain, mengunjungi orang lanjut usia di panti jompo atau membersihkan jalan di dekat pemukiman anda. Pikirkan cara-cara lain yang tak banyak membuang energi, tetapi sangat membantu. Ini sangat menyenangkan memberi imba¬lan pada diri sendiri dan membe¬rikan contoh yang baik pada orang lain.
Seluruh kehidupan ini berada dalam perubahan yang tetap. Setiap hal memiliki awal dan me-miliki akhir. Filosofi ini bukanlah resep untuk menjadi pasif atau apatis, tetapi untuk berdamai dengan kenyataan.
Jika hidup harus memilih pertempuran mana yang diha¬dapi, maka pilihlah dengan kebijaksanaan. Salah satu peraturan tak tertulis untuk menikmati hidup adalah bahwa memberi penilaian pada orang lain membutuhkan energi yang cukup besar dan tanpa kecuali akan membuat kita tersingkir dari tempat yang kita inginkan.
Tentu saja komentar sekali-kali (seperti yang saya lakukan saat ini), kritik yang konstruktif atau petunjuk yang sangat membantu sesungguhnya dibutuhkan.
Manusia memiliki pendapat, kegemaran, selera, dan prioritas yang berbeda. Kita memiliki perspektif, akal sehat dan kebijakan. Mari digunakan da¬lam suasana hati yang baik. Bahwa dalam suasana hati yang baik semua rasanya ringan saja, masalah-masalah yang dihadapi rasanya tidak terlalu berat dan lebih mudah dipecahkan.
Bila berada dalam suasana hati yang baik, hubungan-hubungan kita rasanya mengalir lancar dan komunikasi berjalan mudah. Bila dikritik kita dapat menerimanya den-an ikhlas. Kritik yang timbul hasil dari memandang sesuatu dengan mata hati bukan dengan mata buaya.
Kita sedang membicarakan topik tertarik pada cara orang lain menyikapi sesuatu. Ini bukan sekedar masalah mentolerir perbedaan, tetapi masalah memahami dan menghargai kenyataan, bahwa kenyataan itu secara harfiah memang tidak dapat diubah.
Di kehidupan ini kita pasti menyaksikan perbedaan besar antara masing-masing kebudayaan. Prinsip realitas terpisah menyatakan bahwa perbedaan diantara individu sama besarnya. Di kebiasaan bergulat dengan transformasi dari perilaku mau menang sendiri keprilaku kolektif membangun tataran persahabatan sederajat, maka kepura-puraan yang tersisa mengenai kendali lambat laun hilang. Ini juga kurang baik. Digelindingkannya istilah percepatan di dalam melak¬sanakan sesuatu oleh suatu badan/lembaga, tidak berarti asal--asalan. Ada survey, investigasi, design yang menjadi acuan. Tidak tabu mengambil lompatan besar ke depan demi menggapai masa depan yang baik dan penuh harapan. Adanya Indonesia di peta politik dunia, karena ada lompatan besar oleh bung Karno pada waktu itu. Jika menunggu dan menunggu kemerdekaan yang dijanjikan penjajah atau tidak ada revolusi, apa jadinya.
Kita menyaksikan peristiwa¬-peristiwa yang berkembang, sementara kawasan hati tulus ikhlas untuk bergerak maju dengan cepat, jangan dihambat. Ada pelajaran yang dapat diperoleh dengan menyaksikan peristiwa-peristiwa yang berkembang. John Naisbitt me-nyebutnya sebagai ‘memanaje¬meni revolusi’.
Tidak ada tempat dimana kebutuhan untuk menyediakan pendapat sebagai prioritas yang lebih urgen dalam merangsang penyelesaian masalah. Proses demokrasi memang menjadi begitu tajam dan panas. Karena pemahaman akan makna dan kebutuhan akan demokrasi itu sendiri. Apalagi jika demokrasi juga harus dipahami bukan semata-mata muncul dari aspirasi masyarakat, tetapi juga upaya rekayasa dari infrastruktur untuk memberi saluran bagi aspirasi rakyat. Pertanyaannya, bagai¬mana jika infrastruktur lebih mementingkan kekuasaan?
Dalam sejarah kekuasaan di Indonesia, hampir semua aspek kehidupan sering dimanipulasi dan diperalat untuk kepentingan politik. Alat untuk tebar pesona ketika melakukan kampanye politik tidak cukup dipasang di tempat-tempat umum; tetapi juga di tempat-tempat pemakaman umum. Mengagetkan, tapi tidak mengherankan karena kita berharap mendapat wangsit dari kuburan ketimbang menikmati mie pangsit di kedai makan. Banyak pohon kayu rela dipaku untuk tempat memasang foto-foto.
Bangsa-bangsa berikut ini memiliki perbedaan menyikapi masalah terkait dengan musibah Bangsa Amerika pasca perang, pertanyaan yang dilontarkan: ‘Berapa tentara yang tersisa?’. Ketika perang dunia kedua usia ditandai dengan Jepang menye¬rah tanpa syarat kepada tentara sekutu, bangsa Jepang yang menerima kejatuhan bom di Kota Hiroshima dan Nagasaki melontarkan perta¬nyaan: ‘Berapa guru kita yang tersisa?’. Ketika Jembatan Kapuas di Desa Lungkuh I Kecamatan Timpah, Kabupaten Kapuas runtuh, bebe¬rapa orang dari kita menyikapinya tidak mencari kambing putih dan melontarkan perta¬nyaan ‘BERAPA UANG RAKYAT DIKORBANKAN`?’
Padahal, jembatan tersebut diba¬ngun kembali oleh pelaksananya tanpa ada tambahan biaya sebagai bentuk tanggungjawab mereka kepada Pemerintah dan Rakyat Kalimantan Tengah.
Kenyataan, bahwa kitalah orang-orang yang sulit berdamai dengan kenyataan. Asal tahu saja, bahwa berdamai dengan kenyataan akan meruntuhkan tembok politik besar yang bernama ketidaksalingperca¬yaan. Berdamai dengan kenya¬taan, sarana untuk terhindar dari sikap tidak menghargai hak konstitusional orang lain. Berdamai dengan kenyataan membantu kita dapat menggu¬nakan akal sehat menyikapi setiap persoalan. Berdamai dengan kenyataan, tidak akan mengenakan denda pada orang benar. Berdamai dengan kenyataan, menghentikan perkataan fitnah (Penulis : Drs. Kardinal, Alumni FKIP Universitas Palangkaraya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Give Me Your Comment, No SPAM No JUNK: