Photobucket

12 Mei 2009

PERDAGANGAN KAUM PEREMPUAN (1)

‘It happened, therefore it can be happened again: this is the core of what we have to say’ (Primo Levi)
Masalah trafficking masih terus membelenggu negeri kita, seperti tampak pada Cover Story Jawa Pos (21 dan 22 April 2009) yang mem-blow up perdagangan perempuan asal bumi Minahasa ke Papua. Memang, masalah perdagangan orang begitu memprihatinkan. Mengapa ada manusia yang tega menjual sesama untuk dieksploitasi tubuhnya, bahkan diambil organ tubuhnya sehingga martabat luhur kemanusiaannya sungguh amat dilecehkan?
Membaca ‘Cover Story’ itu, saya jadi teringat kalimat salah satu korban holocaust Primo Levi diawal tulisan ini yang menyebutkan ‘Trafficking terjadi lagi, sehingga masalah ini bisa saja terus berulang: Inilah inti persoalan yang harus kita bicarakan’.


Tak heran jumlah kasus ini terus membengkak. Menurut Laporan Perdagangan Manusia yang dirilis Departemen Luar Negeri Amerika Serikat 2007, Indonesia tercatat sebagai juara kedua dunia dalam soal dagang manusa. Sekitar 1,2 juga (dari 2,5 juta orang yang diperdagangkan) adalah anak di bawah usia 18 tahun. Yang mengerikan, trafficking juga memperjualbelikan sebagian organ tubuh korban untuk kepentingan transplantasi.
Mengapa kasus dagang orang terus melonjak dan berulang? Dengan sederhana kita bisa menunjuk kemiskinan sebagai pemicunya. Tapi, jika dipikir, jawaban ini terkesan amat simplistic. Pasalnya, banyak orang miskin yang bisa tetap bertahan dalam hidup yang lurus (istiqamah). Di tengah berbagai tekanan harga sembako yang kian mencekik, mereka tidak sampai menjual diri.

Uang Lecehkan Martabat Manusia
Memang materialisme bisa menggoda sebagian orang, meski mereka tidak masuk kategori miskin. Tentu saja ada orang miskin yang tergoda akan materi sehingga rela menjual anggota kerabatnya sendiri. Materialisme atau godaan akan uang juga telah menggoda para calo atau muncikari untuk meniup banyak gadis dengan iming-iming kerja enak, tapi kemudian dilacurkan. Kita tentu tidak melupakan kasus puluhan gadis asal Tulungagung yang diiming-imingi menjadi duta wisata ke Jepang, lalu dilacurkan di Tokyo dan beberapa kota lain di Jepang. Publik perlu sadar modus operandi para calo trafficking.
Publik juga harus sadar trafficking adalah tindak kriminal. Ini boleh jadi yang kurang disadari banyak kalangan, termasuk pihak keluarga yang kerap justru menjadi pengambil inisiatif awal dalam menjual kerabatnya sendiri kepada para calo. Mengapa ini jahat? Karena yang diperjualbelikan adalah manusia. Martabat manusia benar-benar dibuat lebih rendah daripada hewan jika praktik ini terus dilakukan. Dalam Vienna Forum PBB baru-baru ini juga ditekankan perlunya martabat manusia, khususnya perempuan dan anak-anak, dilindungi dari bahaya trafficking.

Sosialisasi UU No. 21/2007
Nah, agar tidak makin banyak korban, negeri kita sebenarnya sudah punya payung hukum. Pertama, pasal 297 KUHP yang menyebutkan larangan perdagangan wanita dan laki-laki belum dewasa. Kedua, UU No.23/2002 tentang Perlindungan Anak menentukan larangan memperdagangkan, menjual, atau menculik anak untuk diri sendiri atau untuk dijual (pasal 83). Ketiga secara khusus Indonesia juga telah menerbitkan lex specialis (hukum khusus) tentang perdagangan orang, yaitu: UU No.21/2007 (Penulis : Mustofa Liem, Kalteng)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Give Me Your Comment, No SPAM No JUNK: