Photobucket

9 Mei 2009

SETELAH KPK MINUS ANTASARI

Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK, Antasari Azhar telah ditetapkan sebagai tersangka dalam dugaan kasus pembunuhan berencana Direktur PT. Putra Rajawali Banjaran Nasrudin Zukarnain. Pasal 340 KUHP dijadikan Kepolisian Polda Metrojaya untuk mengirim Antasari ke balik jeruji besi. Sesuai Pasal 32 angka 1 UU No 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, besar kemungkinan Antasari Azhar akan diberhentikan daripada sekedar non aktif, karena telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus tindak pidana kejahatan.
Kondisi tersebut menyebabkan beberapa hal yang sangat mempengaruhi kinerja KPK. Pertama, pimpinan KPK hanya dijalankan empat orang pimpinan yang merangkap anggota. Hal itu tentu berlawanan dengan pasal 21 ayat (1) huruf ‘a’ yang menegaskan pimpinan KPK harus terdiri atas lima orang. Sesuatu yang berjalan diluar aturan merupakan situasi yang tidak dikehendaki, itulah yang disebut force majeure. Padahal, korupsi merupakan extra ordinary crime yang memerlukan penanganan khusus dan berjalan dalam bingkai aturan yang ada.


Kedua, akan ada banyak kasus korupsi yang menggantung atau tidak terselesaikan. Bukan meragukan komitmen dan kapasitas empat pimpinan KPK yang lain, tetapi mekanisme pengambilan keputusan akan menghambat kinerja pimpinan KPK. Bagaimanapun harus disadari bahwa pimpinan KPK yang didesain berjumlah lima orang bukanlah tanpa dasar.
Mekanisme normal dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, termasuk dalam memutus suatu perkara, mulai tahap penyelidikan, penyidikan, hingga penuntutan, oleh para pimpinan KPK yang dikenal denagn sebutan ekspose perkara dilakukan dengan kolektif (pasal 21 poin 5 UU KPK). Artinya, kelima pimpinan melakukan musyawarah sampai voting bila terjadi deadlock. Namun dengan kekurangan satu pimpinan akan sangat mungkin terjadi kedudukan berimbang dalam voting. Jika demikian yang terjadi, akan sangat sedikit perkara yang bisa diputuskan KPK dan itu akan sangat mungkin terjadi. Hal itulah yang dikhawatirkan banyak pihak.
Ketiga, kinerja KPK yang melambat atau berjalan pelan akan mematikan spirit dan antusiasmu masyarakat bahu membahu melawan korupsi. Itu berbahaya dan semakin menjauhkan negeri ini dari mimpi kesejahteraan, reformasi birokrasi, dan sebagainya. Atau, ini merupakan bagian dari scenario para koruptor untuk mematikan KPK? Atau pihak lain yang menghendaki Indonesia tetap menjadi bagian dari rantai kemiskinan ?
Berpijak dari sana, semua pihak perlu menyadari bahwa apa yang dialami institusi KPK bukanlah menjadi masalah institusi itu sendiri. Itu menjadi masalah kita semua, masalah yang harus dihadapi bangsa ini. Benar Antasari akan berada di balik jeruji, tetapi itu tidak boleh membuat terlena bangsa ini dan memenjarakan pikiran kita semua. Sebab apa yang dialami Antasari adalah pelajaran bagi para pimpinan KPK yang lain atau bahkan pejabat di negeri ini untuk menegakan kode etik ataupun nama besar korps dengan tindakan yang positif.
Dalam konteks tersebut, misalnya Antasari telah sekian lama melanggar kode etik KPK pasal 5 ayat 1, yakni tangguh dan tegar dalam menghadapi berbagai godaan yang dilaksanakan dalam bentuk sikap, tindakan/perilaku. Pertanyaannya, apakah semua institusi publik di negeri ini memiliki kode etik atau semangat positif korps ?
Bila pada akhirnya Antasari diberhentikan sesuai pasal 3 UU KPK, presiden patut mengajukan calon anggota pengganti kepada DPR melalui meknasime perekrutan pimpinan dengan tahapan dan prosedur yang layaknya merekrut pimpinan KPK yang baru pasca berakhirnya masa jabatan 4 tahun sesuai pasal 34 UU KPK.
Undang-undang KPK memang tidak mewajibkan presiden mengajukan calon pengganti kepadaDPR. Namun, kita harus berasumsi bahwa dengan absennya satu unsur KPK, mekanisme kolegial pimpinan KPK tidak akan berjalan maksimal dan akan menghambat laju pemberantasan korupsi. Selain itu pengalaman pimpinan yang bermasalah, seperti yang terjadi di Komisi Yudisial, Komite Pengawas Persaingan Usaha, atau Komisi Pemilihan Umum pasca dijebloskannya para anggota yang terlibat dalam kasus pidana, dapat memberikan justifikasi bagi presiden untuk tidak melakukan hal yang sama terhadap KPK.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Give Me Your Comment, No SPAM No JUNK: