Photobucket

14 Mei 2009

Linda Christanty :
Sebuah Upaya Memeluk Dunia

Pada awalnya, jurnalisme adalah seubah upaya memeluk dunia. Ia kadang berangkat dari hal kecil, namun kemudian berhasil mendekap sesuatu yang besar. Ia kerap bermula dari sosok-sosok yang terlipat di pusaran waktu mantra manusia modern, namun kemudian gemilang menjadi pencerita yang lengkap tentang cela manusia modern itu sendiri. Linda Christanty, jurnalis dan penulis sastra peraih Khatulistiwa Literary Award 2004, menunaikan tugasnya dengan sangat baik di buku Dari Jawa Menuju Atjeh: Kumpulan Tulisan tentang Politik Islam dan Gay ini.
Buku ini berisi senarai laporan Linda tentang berbagai tema, mulai gerakan Islam, GAM, militerisme, Aceh-Nias pasca tsunami, Pramoedya Ananta Toer, Wiji Thukul, jurnalisme amplop, sampai gay. Membaca buku ini kita bisa merasakan kejelian seorang jurnalis tulen dalam mengambil sudrut pandang. Linda, mantan eksponen Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID), salah satu gerakan perlawanan terpenting di era Orde Baru, mempunyai sudut pandang penulisan yang sederhana tapi sekaligus kompleks.


Simaklah kala dia menulis laporan Jurnalisme dalam Sepotong Amplop. Laporan ini terasa sederhana, karena sudut pandang dan gaya penyajiannya sangat simpel. Linda membedah fenomena wartawan “bodrex” tanpa kesan menggurui. Ia berbicara dari dalam karena ia memutuskan masuk ke kalangan wartawan “bodrex”.
Linda memaparkan renik-renik fakta yang ia jumpai (misalnya, kerumunan wartawan penuh lagak di kongres sebuah partai). Ia mewawancarai pemilik surat kabar yang membolehkan wartawannya bekerja rangkap dan menerima imbalan dari nara sumber. Dari situlah kemudian laporan Linda menjadi kompleks karena ia mulai membedah problem industri pers secara umum. Mulai pendidikan wartawan sampai sikap birokrat yang “memelihara” wartawan.
Kali pertama ditugaskan meliput berita seni-budaya di tabloid di mana ia mengenal jurnalisme amplop, Linda disarankan rekannya untuk pergi ke Taman Mini Indonesia Indah (TMII). “Di sana ada jatahnya, lho. Lumayan,” kata rekannya. Jatah adalah istilah lain untuk amplop.
Simak pula kejelian Linda mendekap sesuatu yang besar dari sesosok manusia yang terbilang jarang kita perhatikan. Hal itu bisa kita nikmati dalam laporan berumbul Hikayat Kebo. Hanya dengan mengulas sosok Kebo (Linda menulis dengan emosi yang terkontrol dan mencoba menjaga jarak, ia tak bernubuat di tulisannya), tiba-tiba kita seperti disuguhi potret kekerasan negara secara utuh.
Laporan ini berkisah soal Kebo, pemulung dan preman kelas teri yang mati dibakar sesama pemulung. Kejadiannya Mei 2001, di belakang Mal Taman Anggrek, Jakarta. Beritanya cukup ramai kala itu. Dari kisah Kebo kemudian kita diberi suguhan tentang praktik kekejaman Orba, kesenjangan sosial, hingga acara dan berita kriminal di media yang konon ikut memicu budaya main hakim sendiri di masyarakat.
Kali ini Linda menulis tentang gay dan diskriminasi terhadap mereka di laporan Gaya Nusantara. Ia menceritakan perjuangan Dede Oetomo menrintis organisasi dan majalah tentang komunitas homoseksual untuk mencoba menghapus diskriminasi terhadap gay. Sebuah perjuangan yang tak mudah, memang, karena rezim telah mematahkan semangat berorganisasi warganya sejak huru-hara politik 1965.
Linda yang jeli kemudian mengaitkannya dengan budaya masyarakat yang tak terbuka dan cenderung hipokrit dalam memandang gay. Padahal, pemerintah sudah menghapus homoseksual dari daftar penyimpangan jiwa di buku Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa II (1985).
Linda menulis dengan kerja detil yang nyaris sempurna. Laporannya utuh dan tak mengizinkan pembacanya untuk berhenti membaca sejak awal. Ia kerap membuka laporannya dengan lead yang memikat. Semisal, “Pada 1997 Nong Darol Mahmada marah kepada Tuhan” dalam laporan Adakah Pelangi dalam Islam? Yang menceritakan gerak Jaringan Islam Liberal (JIL).
Dalam beberapa laporan di buku ini, Linda kadang seperti berbicara kepada dirinya sendiri, seperti terlihat dalam tulisan Ketika Pertama ke Aceh, Pelajaran Tentang Keberanian, Mengapa Saya Masih di Aceh? Dan Kenzaboro Oe dan Gerbang Dewa Guntur.
Namun, itu bukan berarti ia sedang menulis tentang sosoknya sendiri. Dari dalam dirinya itulah Linda mengkritik diskriminasi etnis, kemiskinan, hingga kekejaman Orba. Di sinilah prinsip jurnalisme bekerja: bahwa ia harus memeluk dunia, meski terkadang berangkat dari aku-personal.
Gaya penulisan Linda adalah jurnalisme sastrawi (literary journalism), genre yang masih minor di penerbitan mainstream Indonesia. Genre ini bukan fiksi. Ia, sebagaimana prinsip dasar jurnalisme, adalah melulu fakta. Hanya saja, disajikan dengan model penulisan “sastra”.
Dan, pada akhirnya, jurnalisme memang melulu bicara fakta. Tanpa bumbu-bumbu. Di situlah sebenarnya kekuatan laporan-laporan Linda: fakta yang disajikan apa adanya justru bicara dengan sangat gambling tentang centang-perenang masyarakat kita. Tanpa ada nada menggurui, Linda berhasil membuat tulisannya menjadi panduan bagi pembacanya untuk bersama-sama menggapai wajah kemanusiaan yang lebih baik (Penulis : Mohammad Eri Irawan).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Give Me Your Comment, No SPAM No JUNK: