Photobucket

21 Mei 2009

KPU Jangan Paksakan Zipper System

Pasca putusan Mahkamah Kontitusi (MK) tentang caleg terpilih berdasar suara terbanyak. Komisi Pemilihan Umum (KPU) justru ingin memaksakan kuota 30% perempuan di parlemen. Caranya, bila partai politik mendapatkan tiga kursi, kursi ketiga diberikan kepada caleg perempuan yang mendapat suara terbanyak. Tak ayal, ide KPU itu menimbulkan pro kontra di kalangan partai politik.
Pemaksaan zipper system dalam penentuan caleg terpilih tersebut disebabkan pasal yang mengatur 30% kuota perempuan (pasal 53 UU No 10/2008) tidak dibatalkan MK. Kali ini KPU kurang memahami putusan MK No 22/PUU-VI/2008. Padahal, dalam mengajukan gugatan ke MK, saya tidak hanya menggugat pasal 214 yang mengatur mekanisme penentuan caleg terpilih. Juga pasal 55 ayat (2) UU No. 10 2008 yang mengatur zipper system.

Pasal 55 ayat (2) UU 10 2008 menyatakan, “Di dalam daftar bakal calon sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1), setiap 3(tiga) orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1(satu) orang perempuan bakal calon.” Bagi saya, pasal ini jelas diskriminasi terhadap kaum laki-laki.s ebab, pasal itu tidak menunjukkan kesetaraan gender.
Derajat laki-laki dan perempuan dalam politik dan pemerintahan sama. Tidak ada yang lebih tinggi dan lebih rendah. Itu sebagaimana ditegaskan dalam pasal 27 ayat (1), pasal 28 D ayat (1), pasal 28 d ayat (3), dan pasal 28 I ayat (1) UUD 1945. Saya setuju kaum perempuan harus didorong aktif di politik, namun tidak boleh mengesampingkan hak kaum laki-laki.
Gugatan pasal 55 ayat (2) ditolak MK dengan argumentasi affirmative action (tindakan sementara). Dasarnya, negara dalam kondisi tertentu boleh membuat aturan yang menguntungkan satu golongan dan itu dibenarkan oleh UUD 1945 pasal 28 H ayat (2) yang menyatakan, “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.’
Menurut MK, hal itu sebagai tindak lanjut Konvensi Perempuan Sedunia Tahun 1995 di Beijing dan berbagai konvensi internasional yang telah diratifikasi dalam UU No 68/1958, UU No 7/1984, UU No 12/1985 tentang Hak Sipil dan Politik, ahsil sidang umum Convention on The Elimination of All forms of Discrimination Against Woman (CEDAW).
Dalam persidangan di MK, perwakilan Komnas Perempuan sudah membela sekuat tenaga agar pasal 214 tidak dibatalkan oleh Mk karena masih berkaitan dengan pasal 55 ayat (2). Biarpun pasal 55 ayat (2) tidak dicabut, caleg terpilih diserahkan kepada suara terbanyak pasal 55 ayat (2) jadi tidak berarti.

Serahkan ke Pemilih saja
Yang selalu jadi pertanyaan, kenapa keterwakilan perempuan harus dipaksakan diparlemen. Apakah tidak lebih baik terpilihnya caleg diserahkan saja ke pemilih. Bukankah dengan suara terbanyak, rakyat bebas menentukan caleg yang harus duduk di parlemen. Tanpa memandang laki-laki atau perempuan.
Jika rakyat menghendaki perempuan yang layak, maka yang terpilih pasti caleg perempuan. Ukuran caleg yang layak atau tidak, idealnya, didasarkan kepada kompetensi dan kapabilitas caleg, bukan dasar gender.
Kenapa KPU harus mengamputasi kedaulatan rakyat (pasal 1 ayat (2) UUD 1945) hanya karena menuruti kelompok yang takut tidak masuk parlemen. Buat apa memaksakan perempuan di parlemen jika rakyat tidak menghendaki. Sejak awal saya mengajukan gugatan ke MK, kaukus perempuan di parlemen menolak dengan tegas. Apakah itu menunjukkan mereka selama ini tidak dekat dengan konstituen.
KPU jangan menutup mata terhadap caleg perempuan yang tidak berkompeten. Misalnya, pedagang sayur, penjual nasi, dan ibu rumah tangga yang buta politik. Tapi, karena partai mengusulkan di antara tiga caleg harus ada perempuan, maka caleg itu pun asal comot jika zipper system dipaksakan dalam penentuan caleg terpilih oleh KPU.
Apa jadinya parlemen jika diisi caleg yang buta politik. Bagaimana nanti ketika membahas rancangan UU? Bagaimana bisa mengontrol kinerja eksekutif? Apakah ini bukan kemunduran demokrasi?
Bahwa ketakutan terhadap kultur masyarakat paternalistic menguntungkan caleg laki-laki, itu tidaklah berdasar. Dalam beberapa pilkada, calon perempuan bisa mengalahkan laki-laki. Misalnya, pilgub Banten yang dimenangkan Ratu Atut Chosiyah dan pilkada Banyuwangi yang dimenangkan Ratna Lestari.

Sudah Untungkah Caleg Perempuan
Dengan tidak dibatalkannya zipper system, seharusnya kaum perempuan berterima kasih kepada MK. Bahwa di antara tiga caleg harus ada satu perempuan, itu memudahkan para pemilih dalam melihat nama caleg perempuan.
Sama halnya dengan caleg nomor satu, dengan diberlakukannya suara terbanyak, mereka tidak perlu takut kalah. Sebab, mereka yang di nomor urut kecil lebih memudahkan pemilih melihat namanya dibandingkan dengan caleg yang berada di nomor urut 5 ke atas.
Zipper system harus dimaknai sebagai modal awal bagi kaum perempuan dalam menawarkan program ke masyarakat. Sekaligus menguji kapabilitas perempuan dalam memasuki kancah politik. Bukan semata-mata statusnya diuntungkan karena perempuan.
Putusan MK tentang suara terbanyak, idealnya, tidak perlu ditafsirkan lagi. Sebab, persoalannya sudah jelas dan lengkap. Pemaksaan KPU terhadap caleg terpilih menggunakan zipper system akan mencederai pemilu itu sendiri. Dan tidak tertutup kemungkinan adanya gugatan baru.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Give Me Your Comment, No SPAM No JUNK: