Photobucket

18 Mei 2009

Mengembalikan Roh Pendidikan (1)

SEKARANG ini, pemerintah sedang gencar menyosialisasikan pendidikan gratis, sampai-sampai Bambang Sudibjo selaku Menteri pendidikan harus terjun langsung. Program ini banyak membantu masyarakat, terutama kelompok miskin, namun ada “hantu besar” di balik itu. Program ini berpotensi menurunkan kualitas pendidikan. Padahal, kualitas pendidikan kita sampai sekarang masih belum mapan.

Pada 27 Januari 2009, ketika Centro de Informaciun y Documentacion mengumumkan 1.000 perguruan tinggi terbaik dunia, Top 1.000 World Universities Ranking on the Web 2009, masyarakat kita “geger”. Mengapa? Sebab, di antara 1.000 perguruan tinggi tersebut, hanya tiga yang berasal dari Indonesia. Itupun di ranking bawah: UGM Jogjakarta di ranking ke-623, ITB Bandung ke-676, dan UI Jakarta ke-906.
Masyarakat tidak percaya, diantara 2.700-an PTN dan PTS yang bertebaran di wilayah Nusantara, ternyata hanya tiga “gelintir” yang mampu menembus persaingan dunia. Tiga bulan sebelumnya masyarakat kita juga “geger”. Ketika Times mengumumkan 400 perguruan tinggi dunia dalam Top 400 Universities: World University Rankings 2008 (17 Oktober 2008), hanya tiga PT Indonesia yang berada di dalamnya. Yaitu, UI Jakarta di ranking ke-287, ITB Bandung ke-315, dan UGM Jogjakarta di ranking ke-316.

Terjebak Teori Barat
Membandingkan mutu dengan sistem perankingan memang positif, asalkan kita tidak terhipnotis olehnya. Sistem ranking itu adalah Teori Barat yang belum tentu cocok untuk budaya Indonesia. Teorinya masuk akal; kalau posisinya di atas, orang puas atas usaha yang dilakukan; kalau posisinya di bawah, orang akan berusaha lebih keras lagi untuk meningkatkan ranking.
Menurut publikasi Times, National University of Singapore berada di ranking ke-30. Menurut teori Barat, mestinya civitas UI, ITB, dan UGM bekerja keras untuk memperpendek jarak dengan kedua universitas tersebt.
Apakah itu terjadi? Tidak!
Mengapa? Banyak bukti menunjukkan sistem perankingan tak selalu cocok untuk budaya kita. Siswa SD yang rankingnya berada di bawah banyak yang tidak termotivasi menakkan prestasi, tetapi justru nglokro alias menyerah sebelum bertanding.
Di Jawa Timur pernah diujicoba memberikan hadiah kepada guru terbaik di SD supaya guru-guru yang lain termotivasi bekerja keras meningkatkan prestasi. Ternyata bukan itu yang terjadi, melainkan, kalau ada pekerjaan bersama selalu diserahkan kepada guru terbaik tersebut karena pernah menerima hadiah, sementara guru lain enggan membantu.
Masayarakat Tiongkok bersikap tegas terhadap Teori Barat tersebut; yaitu menggunakannya secara selektif dan hanya yang benar-benar teruji kecocokannya dengan budaya mereka. Dalam hal perankingan, misalnya, kalaupun di Tiongkok ada beberapa perguruan tinggi yang mengikuti perankingan ala CINDOC dan Times, jumlah mayoritas mengesampingkannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Give Me Your Comment, No SPAM No JUNK: